BAB II MENJAWAB TUDUHAN HANIF DKK. TERHADAP TESIS PENULIS
BAB II MENJAWAB TUDUHAN HANIF DKK. TERHADAP TESIS PENULIS (Red: KH Imadudin Al-Bantani)
Siapa Yang Mengabaikan Metode dan kaidah Ahli Nasab?
Hanif Alatas dkk. dalam buku tersebut mengatakan:
―Imaduddin secara terang-terangan mengabaikan kaidah-kaidah
Ilmu Nasab yang telah lama dirumuskan para ulama nasab. Ilmu nasab yang
mempelajari silsilah dan garis keturunan, memiliki metodologi dan kaidah yang
ketat dan diakui para ahli sejak berabad-abad.‖[1]
Benarkah penulis mengabaikan ilmu
nasab atau malah Ba‘alwi yang keukeuh ingin diakui sebagai keturunan Nabi yang
menabrak Ilmu Nasab?
Mari kita uji metode dan kaidah
ilmu nasab yang terdapat dalam kitab-kitab ilmu nasab.
Metode Itsbat Nasab
Metode itsbat nasab yang terdapat
dalam kitab ilmu nasab semacam Rasa‘il fi ‗Ilm al-Ansab ada tujuh dari ketujuh
metode itu semuanya menyatakan Ba‘alwi batal.
Metode Syuhroh wal Al Istifadlah
Dengan menggunakan metode pertama
ini nasab Ba‘alwi batal karena Syuhrah (popular) mempunyai syarat yaitu ―Adam
alMu‘aridl‖ (tidak ada dalil penentang), sedangkan kitab pengakuan Ba‘alwi
sebagai keturunan Nabi di abad ke-9 H. bertentangan dengan kitab nasab di abad
ke-6 H. yaitu kitab Al-Syajarah al-Mubarakah yang menyatakan anak Ahmad bin Isa
hanya tiga:Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada anak Ahmad bin Isa bernama
Ubaid, Ubaidullah atau Abdullah.
Pakar ilmu Nasab Syekh Husain bin
haidar al-Hasimi dalam kitabnya Rasa‟il
fi „ilm al-Ansab mengatakan:
الطريق الأول : اسْتِفَاضَة النسب وشهرتو في
بلده ، شهرة تثمر علماً ، واستفاضة بتُ بتُ عددٍ عدد مِن الناسِ يقع العلم يخبرىم
أو الفن القوي ، ويؤمن توافقهم على الكذب ، مع عدم ات١عارض
Terjemah:
―pertama, adalah dengan “istifadlotunnasab” (menyebarnya nasab) dan “syuhratunnasab” (popularnya nasab) di desanya dengan popular yang membuahkan
keyakinan dan dengan menyebar antara manusia yang bisa terjadi keyakinan dengan
berita mereka, atau dugaan kuat, dan aman dari kemungkinan kesepakatan mereka
untuk berdusta, dengan disertai tidak adanya dalil yang menentang.‖[2]
Metode Kitab-kitab Nasab
Menggunakan metode kitab-kitab
nasab nasab Ba‘alwi batal karena kitab-kitab nasab bisa digunakan sebagai
pengitsbat nasab mempunyai syarat yaitu sebuah kitab nasab tidak boleh
bertentangan dengan isi kitab nasab sebelumnya. Sedangkan kitab nasab yang
mengitsbat Ba‘alwi baru ada di abad ke- 9 dan 10 H. yang bertentangan dengan
kitab sebelumnya.
Perhatikan apa yang
dikatakan dalam Kitab Nihayatul Muhtaj juz 8 h. 319 karya Imam Ramli: )وَلوُ الشَّهَادَةُ بِالتسَامُعِ( حَيْثُ
لَمْ ي عَارضْوُ أقْ وى مِنوُ كَإِنكَارِ المَنْسُوبِ إليْوِ أوْ طعْنِ أحَدٍ في
الِانتسَابِ إليْوِ، ن عَمْ ي تجَوُ أنوُ لَا بدَّ مِنْ ط عْنٍ لَمْ تَ قُمْ
قرينةٌ عَلى كَذِبِ قائلوِ
―Dan boleh baginya bersaksi dengan tasamu‟ ketika tidak ada penentang yang
lebih kuat dari tasamu‟, seperti
inkarnya orang yang dinisbahkan, atau adanya tha‟n (celaan) seseorang dalam nasab itu. benar hukum demikian
bahwa tasamu‘ gugur dengan adanya inkar dan tha‟n,
tetapi menurut pendapat yang kuat, bahwa disyaratkan tha‟n itu tidak disertai tanda-tanda kedustaan
orang yang menyampaikannya‖
Jelas metode para Nassabah (pakar
nasab) dan pakar fikih membatalkan nasab Ba‘alwi dengan metode Syuhrah
wal-Istifadlah karena kesyuhra-an Ba‘alwi ditolak oleh kitab nasab abad ke-6 H.
AlSyajarah al-Mubarakah. Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab Al Muqaddimat fi „Ilm al Ansab:
شروط اعتماد الرقعة ٔ. ان لا تكون ت٥الفة للاصول
―Syarat menjadikan kitab nasab sebagai pegangan adalah
pertama ia tidak boleh berbeda dengan kitab-kitab asal‖ [3]
Dalam Kitab Ushulu „Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain
al-Ansab karya Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani dikatakan: ولا
يدكننا اتٟديث عن النسب القدنً بناءاً على ما ورد في الكتب اتٟديثة ات١ستندة إلى كلام غتَ منطقى أو على
الذاكرة الشعبية
فقط
―Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar
apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak
logis atau berdasar memori bangsa saja.‖[4]
Jadi jelas, kitab andalan Ba‘alwi Al-Burqat al-Musyiqah, AlJauhar al-Syafaf,
Al-Nafhah al-Anbariyah yang semuanya ada di abad ke-9 H. tidak bisa
digunakan sebagai itsbat nasab Ba‘alwi karena bertentangan dengan kitab nasab
yang lebih tua yaitu Al-Syajarah alMubarakah di abad ke-6 H.
Metode Syahadah/Al-Bayyinah al-Syar’iyyah
Kesakisan dua orang saksi ini bisa dilakukan untuk kesaksian
orang yang hidup hari ini. Tidak bisa untuk Ubaid yang hidup seribu tahun lalu.
Syekh Khalil Ibrahim mengatakan tentang Al-Bayyinah
alSyar‟iyyah dalam kitabnya Muqaddimat
fi „ilmi al-Ansab:
أقول:إن ىذا الأمر ليس في ثبوت نسب القبائل بل
يعمل بو في إتٟاق نسب طفل بأبيو
―Aku berkata sesungguhnya masalah ini (Al-Bayyinah alSyar‟iyyah) bukan untuk
menetapkan nasab qabilah-qabilah, tetapi digunakan untuk menetapkan nasab anak
kepada ayahnya.‖[5]
(Muqaddimat, 62).
Jadi, metode dua orang saksi ini menurut para ahli
nasab tidak bisa digunakan untuk mengitsbat Ubaid sebagai anak Ahmad.
Metode Ikrar
Menurut Syekh Khalil Ibrahim dalam
kitab Muqaddimat, metode I‟tiraf dan iqrar ini pula tidak bisa mengitsbat nasab yang jauh seperti Ubaid.
Ia digunakan hanya untuk nasab orang yang hari ini hidup:
أقول: إن ىذا الامر لا يخص نسب القبائل بل ىو
يخص النسب الفردي ات١شكوك في صحتو فعندما يقر ويعتًف الأب بأبوتو ت٢ذا الطفل أو
الولد يلحق بو وبنسبو
―Aku berkata, sesungguhnya masalah ini tidak
menentukan nasab kabilah-kabilah tetapi ia menentukan nasab seseorang yang
diragukan kesahihannya. Maka ketika seorang ayah berI‟tiraf dan ber-ikrar bahwa
ia bapak dari anak ini maka anak ini di-itsbat
kepadanya dan kepada nasabnya.‖
Metode I’tiraf
الطريق ات٠امس : أن يعتًف رجل عاقل ويقر ، أن
فلانًً يكون ابنو، ويكون ات١دعي ت٦ن يولد مثلو ت١ثل الدعي ، وانتفت ات١وانع
―Metode yang kelima adalah I‟tiraf atau iqrar
seorang laki-laki yang berakal bahwa fulan adalah anaknya. Dan orang yang diaku
haruslah orang yang pantas diakui (sebagai anak) untuk pengaku. Dan tidak ada
penghalang (untuk pengakuan itu).‖[6]
Cara I‟tiraf dan ikrar seorang
ayah kepada anak ini pula menurut syekh Khalil Ibrahim, digunakan untuk orang
yang masih hidup bukan untuk orang yang sudah ribuan tahun wafat seperti Ubaid.
Metode Qiyafah
Metode inipun hanya bisa dilakukan
untuk orang yang hari ini masih hidup untuk melihat keserupaan antara keduanya.
Bukan untuk mengitsbat nasab jauh karena kita tidak bisa membandingkan antara
Ubaid dan Ahmad bin Isa yang sudah wafat seribu tahun yang silam.
Metode DNA
Dalam kitab Muqaddimat fi „Ilmi al-Ansab Syekh Khalil Ibrahim menyajikan
tulisan pakar DNA Arab, Professor Ubaedillah. dalam tulisan tersebut, Prof.
Ubaedillah menyatakan bahwa:
―Tes DNA telah mampu membongkar
orang yang mengaku keturunan Ahlibait dengan palsu dan dusta. Hal itu ketika
hasil tes DNA mereka menunjukan bahwa mereka adalah dari keturunan Persia dan
Kaukasus. Maka tidak aneh mereka memerangi ilmu tes DNA ini dalam situs-situs
mereka. Berbeda dengan hasil tes DNA para Asyraf
lain yang terkenal yang sama dan dekat dengan DNA Adnan.‖[7]
Profesor Ubaidillah berkata:
―Setelah meneliti dan melakukan banyak tes dan
analisis laboratorium terhadap DNA untuk mengetahui keragaman ras manusia, para
peneliti menemukan bahwa warisan genetik Arab termasuk dalam ras tersebut (J1).
Peneliti Profesor Ali bin Muhammad Al- Shehhi mengatakan: Kita dapat memberi
nama pada jenis J1 dengan DNA suku Arab.‖[8]
Setelah kita mengetahui DNA Arab
itu J1 maka sekarang kita bertanya apakah hasil tes DNA Klan Ba‘alwi?
jawabannya hasil tes DNA mereka adalah G. hasil itu menunjukan bukan saja
mereka bukan keturunan Nabi tetapi mereka juga bukan orang Arab.
Metode Qur’ah
Al-Qur‟ah
(diundi) digunakan sebagai itsbat
nasab berdasarkan hadits Zaid bin Arqam ia berkata:
ك نتُ جالسًا عند النبِيّ صلى اللهُ عليو وسلَّم،
فجاء رجُلٌ مِن أىلُُِ اليمَنِ فقال: إنَّ ثلاثةَ نفَرٍ مِن أىلِ اليمَنِ أتَ وْا
عليا يختصِمونَ إليو في وَلدٍ، قد وقعوا على امرأةٍ في طهْرٍ واحدٍ، فقال لاثنتُِ:
طِيبا بالولدِ ت٢ذا، فغليا، ثمَّ قال لاثنتُِ: طِيبا بالولدِ ت٢ذا، فغليا، ثمَّ
قال لاثنتُِ: طِيبا بالولدِ ت٢ذا، فغليا، فقال: أنتم شُركَاءُ مُتشاكسونَ؛ إنّي
مُقرعٌِ بينكم، فمَن قَ رَعَ فلو الولدُ، وعليو لصاحِبَ يْو ث لثا الدِّيةِ، فأقرع
بينهم، فجعَلو لمَن قَ رعَ، فضحِك رسولُ اللِه صلَّى اللهُ عليو وسلم حتَّى بدَتْ
أضراسُو أو نواجِذُه. رواه ابو داود والنسائي واتٛد
―Aku duduk di sisi Nabi SAW maka datanglah seorang
laki-laki dari Yaman maka ia berkata bahwa tiga orang dari Yaman datang kepada
Ali KW mengadukan sengketa hukum anak kepadanya, mereka telah menjima‘ seorang
wanita dalam satu masa suci. Maka Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak
untuk orang ini, maka kemudian dua orang itu tidak mau dengan bergolak. Maka
kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak itu untuk orang itu,
maka keduanya tidak mau, Maka kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah
anak itu untuk orang itu, maka keduanya tidak mau, maka Ali berkata, kalian
bersama-sama orang yang bertengkar, aku akan mengundi di antara kalian, maka
barang siapa keluar undianya anak ini miliknya, dan ia harus membayar 2/3 diyat
bagi yang lain, maka kemudian Ali mengundi di antara mereka, maka ia menjadikan
anak itu bagi yang keluar undian. Maka Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi
gerahamnya.‖
Metode qur‘ah ini pun tidak bisa
dilakukan untuk nasab Ba‘alwi karena metode ini dilakukan hanya ketika
dalil-dalil pengitsbat dan penafi sama kuatnya. Sedangkan dalil yang mengitsbat
nasab Ba‘alwi sangat lemah dan termasuk nasab maudlu (palsu).
Dari ketujuh metode itsbat nasab
yang digariskan oleh para pakar nasab tersebut sudah nyata siapa yang menabrak
metode dan kaidah nasab. yang hari ini masih mengitsbat Ba‘alwi dengan begitu
terangnya kebatalan mereka, maka merekalah yang telah menabrak metode dan
kaidah nasab.
Klasifikasi Nasab Menurut Ahli Nasab Dalam buku tersebut
Hanif dkk. mengatakan:
―Imaduddin selalu berteriak lantang bahwa nasab
Ba'alawi adalah nasab batil dan mardûd. Imaduddin tampaknya tidak memahami
makna "nasab mardûd" dan "nasab batil" dalam terminologi
ilmu nasab. Dalam ilmu nasab, nasab seseorang atau sebuah keluarga terbagi
menjadi beberapa tingkatan. Berikut kami tuangkan klasifikasinya dengan
terjemahan secara global.‖[9]
Lalu Hanif dkk. mengutip pendapat
pakar nasab Syaikh Husain bin Haidar al-Hasyimi dalam kitab Rasail tentang
klasifikasi nasab. setelah mengutip dan menterjemahkan lalu Hanif mengatakan: ―Berdasarkan
klasifikasi di atas, Nasab Ba'alawi jelas masuk kategori nasab sahih sebab
memiliki silsilah nasab yang jelas dan disepakati keabsahannya oleh semua
nassabah yang membahas nasab Ba'alawi. Tidak ada satu pun nassabah yang
menafikan. Status Ba'alawi sebagai nasab pun sahih dinyatakan oleh banyak
ulama, sebagaimana telah kami uraikan di Bab
I.‖[10]
Pertanyaannya benarkah apa yang
disamapaikan Hanif itu? apakah ia menjelaskan detail setiap kalimat yang ia
kutip dari kitab Rasail sehingga pembaca bisa juga memahami walau ia tidak
memahami Bahasa Arab, atau ia hanya menterjemahkan lalu mengambil kesimpulan
sendiri tidak sesuai apa yang dimaksud oleh pengarangnya sendiri.
Untuk asas
keterbukaan mari kita kutip utuh apa yang ada dalam kitab Rasail lalu penulis
akan jelaskan kata perkata yang penting untuk dijelaskan agar apa yang
diinginkan oleh penulis kitab itu sesuai. Lalu pembaca bisa bandingkan dengan
apa yang ada dalam buku Hanif dkk. tersebut. Mari kita mulai. أقسام
الأنساب فالأنساب
إذن ليست على درجة واحدة ، ولكنها تنقسم في : ع رف
علماء النسب إلى أقسام أربعة ، وىي ، القسم الأول : النسب الثابت . ويقال فيو : النسب
الصحيح وىو
النسب الذي تأكد ثبوتو بسلسلة صحيحة ، ت٣مع على صحتها
من قبل النسابتُ المحققتُ . والعلماء يعبرون عن ىذا النسب
بقوت٢م : نسب صحيح ثابت . أو أنهم يكتفون بأحد اللفظتُ ، فيقولون : نسب صحيح . نسب ثابت
Terjemah:
―bagian-bagian nasab: maka nasab itu bukan hanya ada
satu tingkatan. Tetapi terbagi dalam istilah ulama nasab kepada empat bagian.
Yang pertama nasab tsabit (yang tetap). Disebut juga nasab sahih. Yaitu nasab
yang kuat dengan silsilah yang benar yang diijma kesahihannya dari para ahli
nasab yang muhaqqiq (ahli meneliti). Dan para ulama membuat istilah dari nasab
ini dengan ―nasab sahih tsabit‖. Atau mereka
mencukupkan dengan salah satu lafadz (sahih/tsabit).‖[11]
Perhatikan: nasab yang sahih itu
mempunyai syarat dia silsilahnya harus benar diijma kebenarannya oleh para ahli
nasab. sekarang kita Tanya mana ulama nasab pada masa Ahmad bin Isa yang
mengitsbat Ubaid/ubaidillah sebagai anak Ahmad? tidak ada. kitab nasab yang
pertama mengitsbat Abdulah sebagai anak Ahmad ada di tahun 880 H. yang mengitsbat
Alwi baru ada pada tahun 996 H. wah itu sudah 651 tahun setelah wafatnya Ahmad
bin Isa. bahkan pada abad ke-enam kitab Al-syajarah al-Mubarakah menegaskan
anaknya Ahmad hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Maka pengakuan bahwa Ahmad
bin Isa mempunyai anak bernama Ubaid/ubaidillah/ Abdullah ini batal, sesuai
ilmu nasab. maka dari itu nasab Ba‘alwi tidak bisa disebut nasab sahih.
القسم الثاني : النسب ات١شهور . وىو النسب الذي
اشتهر واستفاض بتُ الناس ، ولا سيما بتُ القبيلة نفسها ، إلا أن أصحاب ىذا النسب لا
يعرف اتصال نسبهم بالقبيلة ، فالقبيلة ت قَرُّ ت٢م بالنسب ولا وجو لنفيهم عنو ،
غتَ أنهم ليس بأيديهم بسلسلة تبيتُ الانتساب ، ولا عموداً يشتَ إلى
الأسباب وىذا القسم والذي قبلو لا يفرق بينهما إلا علماء النسب ، وإلا
فإنهما قسم واحد عند غتَىم ، وينبغي أن يعلم أن شهرة النسب قد تكون غتَ أصلية ، أي
أن النسبة إنما تٟقت بالإنسان لأنو مولى القوم لا أنو من أنفسهم ، وقد تكون بسبب
اختلاطو بالقبيلة ، أو بسبب ت٣اورتو للقوم في السكتٌ ، ومهمة النسابة المحقق
المحرر أن يبتُ كل ذلك بعبارة تكون في غاية الوضوح والدلالة ، وىذ القسم
والذي قبلو يعرف عند النسابتُ بالنسب الصريح ، كقول أىل النسب: إن عدنًن ىو صريح
ولد إتٝاعيل ، وإن ن زار بن معد ىو صريح ولد معد.
Terjemah:
―Bagian kedua Nasab Masyhur: yaitu nasab yang
masyhur dan terkenal antar mansuia, apalagi di antara kabilah itu sendiri.
Tetapi mereka tidak diketahui darimana ketersambungan nasabnya dalam kabilah
itu. kabilah itu mengakui nasab mereka dan tidak ada jalan menafikan, walaupun
tidak ada susunan silsilah yang menyatakan hubungan itu, dan tidak pula ada
nama-nama yang mengarah kepada sebab-sebab. Bagian kedua ini dan yang
sebelumnya tidak bisa membedakan keduanya kecuali ulama nasab. kalau tidak dua
bagian itu dianggap satu bagian menurut ulama lainnya. Dan perlu diketahui
bahwa kemasyhuran suatu nasab terkadang tidak asli. Yaitu ketersambungan nasab
itu terkadang karena ia sebagai mawla (mantan budak) suatu kaum. Bukan
benar-benar keturunan mereka. Terkadang pula nasab itu karena adanya asimilasi
dengan suatu kaum. Atau karena ia tetangga kaum itu. dan kepentingan para ahli
nasab yang muhaqiq adalah menjelaskan dengan terang benderang semua itu dengan
dalil. Bagian ini disebut juga dengan nasab sarih. Seperti ucapan ahli nasab
bahwa adnan sarih keturunan Ismail dan sesunggunya Nazar bin
Ma‘ad sarih anak Ma‘ad.‖[12]
Perhatikan, nasab masyhur itu adalah
nasab seseorang yang dikenal di antara manusia tersambung kepada suatu kabilah
tetapi ia tidak mengetahui jalurnya. Kabilah tersebut mengakui bahwa orang itu
bagian darinya walau tidak diketahui silsilah atau nama-nama nasab yang
tersambung kepada kabilah itu. seperti kemasyhuran Adnan sebagai keturunan
Ismail, semua ahli nasab sepakat bahwa Adnan adalah keturunan Ismail, tetapi
mereka tidak mempunyai urutan nama-nama yang sahih yang menyambungkan Adnan
kepada
Ismail.
Apakah nasab Ba‘alwi termasuk
kategori nasab masyhur? Tidak. Karena Ba‘alwi mempunyai urutan nama-nama yang
menyambungkan mereka kepada Ahmad bin Isa tetapi urutan itu tertolak kitab
nasab abad ke-6 H. jadi, Ba‘alwi itu tidak termasuk kategori nasab masyhur tetapi
masuk ke dalam kategori nasab
―mardud‖ (tertolak) yang nanti akan diterangkan.
القسم الثالث : النسب ات١قبول . وىو النسب الذي
أثبتو قوم من نفس القبيلة الذين ىم أصحاب الشأن ، ونفاه قوم من نفس تلك القبيلة ،
فالإثبات والنفي فيو متساويَن ، فهما جهتان متقابلتان متضادتًن ، فصار مقبولاً
لأجل التساوي بتُ التضاد ، ولأجل أن ىذا التضاد من نفس جسد القوم أصحاب الشأن ، لا
من قوم آخرين ، وإلا فإنَّ القول ىو قول أصحاب الشأن دون الغرباء ، سواء أكان
إثباتًً أم نفياً ، فالقول قوت٢م ، والعلماء يعبرون عن ىذا النسب بقوت٢م :
نسب فيو خلاف ويعبرون عنو كذلك بقوت٢م : (صح
عن النسابة فلان( . وىذا يعتٍ أن النسب قد ثبت عن ىذا ولم يثبت عند نسابة آخر وىو
ما يعتٍ حصول ات٠لاف بتُ النسابتُ . وأنت ترى أن أكثر كلام أىل النسب في الأخذ
والرد بينهم إنما يرد على ىذا النوع من الأنساب ، كقوت٢م
: )فلان في عقبو خلاف( ، )فلان فيو نظر)
Terjemah:
―bagian ketiga adalah nasab maqbul: yaitu nasab yang
ditetapkan oleh suatu kaum pemegang otoritas dari sebuah kabilah tetapi
dinafikan oleh kaum yang lain dari kabilah itu. maka itsbat dan nafi
kedudukannya sama. Keduanya dua arah yang berhadapan dan berlawanan. Maka nasab
ini kemudian disebut nasab maqbul karena kesamaan (dalil) antara kedua yang
berlawanan. Dan karena pertentangan ini dari dalam kabilah yang memiliki
otoritas itu sendiri bukan dari kaum lain. Jika tidak demikian (pertentangan
yang terjadi antara pemegang otoritas disuatu kabilah dengan orang luar), maka
pendapat yang diterima adalah kaum yang memiliki otoritas itu bukan orang lain.
Baik dalam menetapkan atau menafikan. Maka pendapat yang diterima adalah
pendapat pemegang otoritas di kaum itu. ulama menyebut nasab ini sebagai ―nasab
yang ada perbedaan pendapat‖. Mereka menyebut juga ‖nasab sahih dari ahli nasab
anu‖. Ini adalah yakni bahwa nasab itu sahih menurut ahli nasab ini dan tidak
sahih menurut ahli nasab yang lain. Yakni yang ditemukan adanya khilaf antar
ahli nasab. dan engkau melihat bahwa mayoritas ucapan ahli nasab dalam
mengambil dan menolak nasab di antara mereka adalah dalam nasab yang seperti
ini. seperti ucapan mereka‖ fulan fi aqibihi khilaf‖ (fulan yang tentang ia
berketurunan terjadi perbedaan pendapat);
―Fulan Fiji nadzar‖ (fulan yang didalamnya ada catatan).‖[13]
Perhatikan, nasab maqbul adalah
nasab seseorang dari suatu kabilah yang pemegang otoritas dikabilah itu berbeda
pendapat tentang dia. Sebagian menerima sebagaian menolak. Seperti seseorang
yang mengaku keturuanan Sunan Gunung Jati (SGJ), lalu badan nasab SGJ di Banten
menerima sedang badan nasab SGJ di Cirebon menolak. Maka kedudukan nasab ini
disebut ―nasab maqbul‖. Jika yang menyatakan perbedaan pendapat itu terjadi
antara badan nasab SGJ dan orang lain di luar keluarga SGJ maka yang harus
diambil adalah pendapat keluarga SGJ. Lalu apakah nasab Ba‘alwi bisa disebut
―nasab maqbul‖? Tidak. Kenapa? Karena nasab Ba‘alwi sama sekali tidak disebut
oleh para ahli nasab sejak masa Ahmad bin Isa. tidak ada yang menerima dan
tidak ada yang menolak. Kenapa tidak ada yang menolak, karena memang tidak ada.
Lalu di abad ke-enam kitab Al-Syajarah alMubarakah menetapkan anaknya Cuma
tiga: Muhammad, Ali dan
Husain. Tidak ada nama Ubaid/Ubaidillah/Abdullah. Jika
di masa AlSyajarah al-Mubarakah ada ahli nasab yang menyebut nama Abdullah
sebagai anak Ahmad maka baru bisa dikatakan itu ―nasab maqbul‖ karena walaupun
di kitab Al-Syajarah al-Mubarakah tidak
ada nama Abdullah tetapi di kitab lain yang semasa ada.
القسم الرابع : النََّّسب ات١ردود. وىو النسب ات١كذوب ، والسلسلة ات١وضوعة ،
والشجرة التي ليس ت٢ا أصل ، وىو نسبُ وَضَعَوُ كذوب ، وألصقو بقوم ، إلا أن القوم عملوا
على إبطالو ، وأنكروه ولم يعرفوه ، ونفوه عن شجرتهم ولم يثبتوه . وىذا
القسم الأختَ ىو ات١عتٍ في رسالتنا ىذه ، فالنسب ات١وضوع لا بد لو من ثلاثة أركان
، نسبة موضوعة مكذوبة ، وواضع للنسبة كذوب ،
وموضوع لو أو عليو
Terjemah:
―Bagian keempat adalah nasab mardud. Yaitu nasab
dusta, silsilah palsu, dan pohon nasab yang tidak punya asal. Ia adalah nasab
yang diletakan oleh seorang pendusta, dan dicangkokan kepada sebuah kaum, akan
tetapi kaum itu membatalkannya, mengingkarinya dan tidak mengenalnya dan
menafikannya dalam syajarah mereka dan tidak menetapkannya. Dan bagian yang
akhir ini adalah makna risalah kami ini. maka nasab palsu tidak terlepas dari
tiga rukun: nisbat yang palsu dan dusta, pemalsu nasab yang pendusta, yang
dipalsukan untuknya (yang mencangkok) atau atasnya (yang dicangkok).‖[14]
Perhatikan: nasab mardud adalah
nasab yang dusta, silsilah palsu, dan pohon nasab yang tidak punya asal. Inilah
kedudukan nasab Ba‘alwi. nasab mardud. Kenapa? Karena nasabnya dusta. Dari mana
dustanya? Karena tidak ada ulama mencatat nasabnya sejak masa Ahmad bin Isa
sampai mereka mengaku di abad ke-9 H. setelah 550 tahun. Di sisi lain yang
dicatat di abad ke-6 H. anak Ahmad bin Isa tiga: Muhammad, Ali dan Husain,
sedang mereka mengaku keturunan anak Ahmad bin Isa yang bernama
Ubaid/Ubaidillah/Abdullah. Jelas itu nasab yang diciptakan tertolak oleh kitab
nasab abad ke-6 H.
Jika Ba‘alwi mengatakan: buktinya
tidak ada keturunan Ahmad bin Isa sekarang yang menafikan mereka sebagai
keturunan Ahmad bin Isa. sedangkan definisi nasab mardud kan adanya kabilah itu
yang menafikan penyusup itu. jawab: keturunan Ahmad bin Isa yang ada sekarang
tidak bisa diiktibar dalam menerima atau menolak nasab Ba‘alwi, kenapa? karena
jarak pengakuan Ba‘alwi dan perpisahan nasab mereka terjadi di nama anak-anak
Ahmad bin Isa yang sudah berjarak 1101 tahun sejak wafatnya Ahmad bin Isa
sampai sekarang. dengan jarak yang sepanjang itu, maka sudah berkembang menjadi
puluhan kabilah-kabilah dari kakek bersama Ahmad bin Isa. maka masing-masing
kabilah hanya diiktibar ketika menafikan penyusp dalam kabilahnya
masing-masing. Lalu yang diiktibar penafian siapa? Penafian berdasarkan
kitab-kitab nasab masa Ahmad bin Isa atau masa yang paling dekat kitab itu
dapat ditemukan. Kitab nasab yang paling dekat masanya dengan Ahmad bin Isa
yang menyebut seluruh anaknya yang berketuruann adalah kitab Al-Syajarah
al-Mubarakah di abad ke-
6. Dan disitu leluhur Ba‘alwi bernama Ubaid/Ubaidillah/Abdullah
tidak disebutkan sebagai anak Ahmad bin Isa. maka nasab mereka adalah nasab
mardud yang dapat diverifikasi kepalsuannya melalui kitab-kitab nasab kuno yang
hari ini tersedia.
Kaidah-Kaidah Ulama Nasab Dalam Membatalkan Nasab
Ba’alwi
Hanif dkk. membuat framing bahwa
tesis penulis menabrak kaidah-kaidah para ahli nasab. mari kita uji nasab
Ba‘alwi dengan menggunakan kaidah-kaidah nasab dari para ahli nasab dalam
kitabkitab nasab mereka dengan kaidah-kaidah nasab berikut ini:
Kaidah ke-1
ات١صلحة فان ظهرت مصلحة عند ات١ثبت او النافي
يتًك قولو غالبا، وقد يعمل بنقيض مصلحتو في حالات ت٥صصة، ولا يؤخذ بقولو الا اذا
وجد ما يعضده عند غتَه ت٦ن ليست ت٢م مصلحة ولم
ينقلوا عن من لو مصلحة،"
Terjemah:
―jika dari seorang yang meng-itsbat dan menafikan
(nasab) jelas ada kepentingan maka biasanya pendapatnya ditinggalkan. Kadang
dalam hal-hal tertentu pendapatnya dapat digunakan jika bertentangan dengan
kepentingannya. Dan tidak dapat diambil pendapatnya kecuali dikuatkan oleh
ulama lainnya yang tidak berkepentingan. Para ulama nasab tidak mengutip dari
orang yang punya kepentingan.‖[15]
Dari kaidah ini kitab-kitab karya
Ba‘alwi seperti Al-Burqah alMusyiqah,
Al-jauhar al-Syafaf dsb. atau para muridnya pendapatnya tidak layak
dijadikan hujjah karena di sana ada kepentingan.
Kaidah ke-2
وعندما ت٨قق النسب فان ات١صادر التى يدكن ان
نستقي منها النسب يجب ان تكون من كتب الانساب القديدة التي كتبت فيما قبل العصر
اتٟديث حيث كان الناس اقرب الى معرفة اصوت٢م
“Dan ketika kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang
memungkinkan kita mengambil darinya, wajib berupa kitabkitab nasab terdahulu
yang ditulis sebelum masa modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui
keturunan mereka‖[16]
Dari kaidah ini referensi yang
harus digunakan oleh Ba‘alwi dalam mempertahankan nasab adalah kitab-kitab
nasab, bukan kitab sejarah atau tasawuf. sementara kitab nasab yang mencatat
mereka baru pada abad ke-10 H. yang bertentangan isinya dengan kitab-kitab
sebelumnya.
Kaidah ke-3
ولا يدكننا اتٟديث عن النسب القدنً بناءاً على
ما ورد في الكتب اتٟديثة ات١ستندة إلى كلام غتَ منطقى أو على الذاكرة الشعبية
فقط
―Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu
berdasar apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang
tidak logis atau berdasar memori bangsa saja.‖[17]
Dari kaidah ini hujjah-hujjah
Ba‘alwi untuk ubaid/ubaidillah/Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa dengan
menggunakan kitab abad ke-10 sementara Ubaid hidup di abad ke 4 H. tertolak
apalagi kitab itu bertentangan dengan kitab abad ke-6 H. Al-Syajarah
al-Mubarakah.
Kaidah ke-4
ويختلف ات١رجع عن ات١صدر في ان ات١صدر اقرب زمان
ومكان وبيئة الاحداث التي يرويها اما ات١رجع فهو ت٥تلف عن ات١صدر في بعض او كل
العناصر السابقة فيحتاج مؤلف ات١رجع الى مصادر ومواد اولية اخرى لات٧از تْثو
ويتًتب على ذلك ان ات١صدر يكون اجدر بالاعتبار في حالة التعارض مع ات١رجع مالم
يحتو ات١رجع على تٖليل دقيق يفند اوجو التعارض من خلال مصادر او مواد اولية اخرى
―Marji‟
(Referensi) berbeda dengan mashdar
(sumber), yaitu bahwa mashdar lebih
dekat waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya.
Adapun marji‟ berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur
sebelumnya. Maka penulis marji‟
membutuhkan mashdar dan sumber lain
yang primer untuk melengkapi penelitiannya. Oleh karena itu, mashdar lebih laik diiktibar apabila
terjadi pertentangan dengan marji‟,
kecuali jika marji‟ tersebut memuat
analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui mashdar atau bahan-bahan primer lainnya‖.[18]
Dari kaidah ini jelas, jika kitab
nasab yang baru bertentangan isinya dengan kitab lama maka kitab lama yang
diiktibar (dihitung sebagai hujjah).
Kaidah ke-5
ليس كل من كتب في الانساب حجة وليس كل ما كتب
يصح
الاحتجاج بو
Terjemah:
―Tidak semua orang yang menulis nasab itu bisa dijadikan
hujjah. Dan tidak semua yang ditulis sah untuk dijadikan hujjah‖[19]
Dari kaidah ini, kitab-kitab ulama
yang menyebut nasab Ba‘alwi jika kitab itu bukan kitab nasab. karena kitab yang
sah digunakan sebagai hujjah dalam istbat nasab hanyalah kitab nasab.
Kaidah ke-6
وأعلم أن ات٠بر إذا كان يباين ات١عقول ويخالف
ات١نقول ويناقض الأصول فهو منحول أي موضوع، وات١نحول وات١وضوع لا يحتج بها
.
Terjemah:
―Dan ketahuilah bahwa informasi jika bertentangan dengan
logika dan referensi dan bertentangan dengan ushul maka ia informasi palsu
yakni maudlu‘. Informasi yang palsu dan maudlu‘ tidak dapat dijadikan sebgai
hujjah‖[20]
Dari kaidah ini nasab Ba‘alwi batal
total, ia nasab manhul (palsu), karena ia bertentangan dengan logika: suatu
nasab yang tidak disebutkan selama 550 tahun tiba-tiba muncul mengaku sebagai
keturunan Nabi tanpa ada referensi kitab nasab sebelumnya dan bertentangan
dengan manqul (kitab-kitab nasab).
Kaidah ke-7
وينبغي على باحث الأنساب أن لا يقدس النصوص، فكل
نص عدا كلام الله وحديث رسولو صلى الله عليو والو، فهو يخضع
للتحقيق والتدقيق وىو معرض للخطأ والصواب
Terjemah:
―Dan seyogyanya bagi peneliti nasab untuk tidak
menganggap suci teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain
kalam Allah dan hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan
didalami; ia bisa salah dan benar.‖133
Dengan kaidah ini maka setiap
ucapan ulama yang mengutip tentang nasab Ba‘alwi dalam kitabnya seperti Ibnu
Hajar Al-Haitami boleh kita teliti istidlalnya jika mereka menyampaikan dalil,
atau jika tidak menyampaikan dalil maka kita tinggalkan jika bertentangan
dengan kitab-kitab nasab. itulah cara ahli nasab meneliti nasab. bukan dengan
memframing seseorang yang meneliti nasab sebagai orang yang merendahkan ulama.
Kaidah ke-8
ما من أحد إلا يؤخذ من علمو ويتًك إلا رسول اللهملسو هيلع هللا
―Tidak ada seorangpun keculai ilmunya dapat diterima atau
ditolak kecuali Rasulullah SAW.‖[21]
Dari kaidah ini penelitian nasab yang menguji
istidlal kutipan ulama besarpun tidak bertentangan dengan syariat Islam bahkan
dianjurkan.
9-Kaidah keلا يحتج بكثرة ات١صادر اذا كانت تنقل من اصل
واحد
Terjemah:
―Banyaknya kitab-kitab referensi tidak bisa dijadikan
hujjah jika diambil dari sumber yang satu.‖[22]
Dari kaidah ini, banyaknya Hanif
Alatas dkk. mengutip kitabkitab yang mengitsbat Ba‘alwi mulai dari abad ke-10
sampai sekarang tidak ada artinya jika semuanya mentok mengutip dari kitab
Alburqah al-Musyiqah karya Ali al-Sakran di abad sembilan Hijriyah.
Kaidah ke-10
اذا عرف الواضع وعرفت علة الوضع اتٞارحة انتفى
الاستدلال
―Ketika sudah diketahui pemalsunya dan diketahui
illat (alasan) pemalsuan yang mencela itu maka hilanglah istidlal (mencari
dalil).‖[23]
Dari kaidah ini ketika penulis mengetahui
bahwa yang meletakan nasab Ba‘alwi sebagai keturunan Ahmad bin Isa adalah Ali
al-Sakran dan mengetahui alasan dia meletakan itu yaitu karena ada kemiripan
nama maka hilanglah kekuatan dalil dari nasab Ba‘alwi itu.
artinya nasab Ba‘alwi itu ujug-ujug datang tanpa
dalil sedikitpun.
11-Kaidah keولا يقدم تْال على ما يثبتو النسابة خصوصا ان
كانوا اقرب زمانً او مكانً
―(Sejarawan) tidak boleh didahulukan dari penetapan
ahli nasab khususnya jika ahli nasab itu lebih dekat masanya atau tempatnya.‖[24]
Dari kaidah ini seluruh referensi
Hanif dkk. yang seratus kitab itu tidak bisa digunakan sebagai dalil nasab Ba‘alwi
karena kitab-kitab itu hanya kitab sejarah, kitab tasawuf dan semacamnya. Kitab
nasab yang bisa ditunjukan Hanif hanya Al-Nafhah di abad sembilan yang
bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya.
لا
يؤخذ ىذ العلم الا من مصادره ومراجعو ات١عتمدة .12 -Kaidah ke
Terjemah:
―Ilmu ini (penetapan nasab) tidak bisa diambil kecuali dari
sumber-sumber dan referensi-referensinya‖[25]
Dari kaisah ini sama dengan kaidah
sebelumnya bahwa kitab yang bisa dijadikan dalil hanyalah kitab-kitab nasab.
Kaidah ke-13
فالنسب يثبت اذا وجد في رقعة او كتاب بشرط ان يكون ىذا ات١كتوب
قطعي الدلالة على ات١قصود وليس من ات١ؤتلف اي
متشابو الاتٝاء
Terjemah:
―Maka nasab bisa dikatakan diitsbat jika ditemukan
dalam catatan atau kitab dengan syarat apa yang tertulis itu petunjukya jelas
untuk tujuan (mengitsbat nasab) dan bukan termasuk nama yang mirip.‖[26]
Dari kaidah ini nama Abdullah yang terdapat dalam
Al-Suluk
(732 H.) yang pada abad ke-9 H. diijtihadi oleh
Ba‘alwi sebagai sama dengan nama Ubaid adalah tidak bisa diterima. Karena
itsbat nasab yang diambil dari satu kitab harus bersifat qathiyy memeiliki
kesamaan nama bukan hanya mirip saja.
Kaidah ke-14
وََكأنًَّ إذَا قُ لْنا: يََ شَريفُ أوْ جَاءَ
الشَّريفُ، وَمَا أشْبوَ ذَلكَ مُوَافقًا الشَّريفَ عَلى مَا ذكَرنًَ، فإِذَا رأيْ
نا مَكْت وبًا ليْسَ مَقْصُودُهُ إثْ باتَ النسَبِ لَمْ تَ٨ْمِلْوُ عَلى إثْ باتِ
النسَبِ ولَا يَجوزُ التَّ عَلقُ بوِ فِي إثْ باتوِ
إذَا كَانَ الْمَقْصُودُ مِنْوُ غَيْ ر هُ
Terjemah:
―Dan semacam jika kita mengatakan‘Hai Syarif‘ atau
‗Telah datang seorang Syarif‘ dan semacamnya sesuai dengan apa yang kami
sebutkan, maka jika kita melihat tertulis tulisan yang maksudnya bukan
mengitsbat nasab maka kita tidak boleh membawanya kepada itsbat nasab dan tidak
boleh kita bergantung kepadanya dalam menetapkan nasab ketika maksud
tulisan itu bukan penetapan nasab.‖[27]
Dari kaidah ini kita memahami
bahwa sebutan sayyid atau syarif dalam suatu kitab tidak termasuk itsbat nasab,
seperti ketika
K.H. hasyim Asy‘ari menyebut Sayyid kepada seorang Ba‘alwi
itu tidak bisa disebut ia telah mengitsbat Ba‘alwi tersebut.
[1]
Hanif Alatas dkk…h.133
[2]
Husain bin Haidar…h.101
[3]
Khalil bin Ibrahim…78
[4]
Al-jaizani…77
[5]
Khalil
bin Ibrahim…h.62
[6] Husain al-hasyimi…h.105
[7]
Khalil
bin Ibrahim…h.178
[8]
Ibid…h.189
[9]
Hanif dkk. ..H.165
[10]
Hanif….h.167
[11]
Husain bin Haidar…h. 98
[12]
Husain bin haidar…h. 99
[13]
Husain bin Haidar…h.99
[14]
Husain bin Haidar….h.99-100
[15]
Abdul Majid al-Qaraja, Al-Kafi
al-Muntkhab, 49
[16] Fuad bin Abduh bin Abil
Gaits al jaizani, Ushulu „Ilmi al Nasab
wa alMufadlalah Bain al-Ansab ,h. 76-77
[17]
Ibid,
h. 77
[18] Imad Muhammad al-Atiqi,
Dalil Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al Ansab h. 58.
[19]
Khalil bin Ibrahim, Muqaddimat fi „Ilm al-Ansab, h. 83
[20] Khalil bin Ibrahim,
Muqaddimat fi „Ilm al-Ansab, h. 88 133 Khalil bin Ibrahim, h. 85
[21]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Al-Maktabah al-Syamilah, 1/78
[22]
Khalil Ibrahim…h.85
[23]
Khalil bin Ibrahim….h. 85
[24] Abdurrahman Qaraja…h.71
[25]
Khalil Ibrahim…86
[26]
Khalil bin Ibrahim…h. 58
[27] Imam Subki, Fatawa Subki,
Al-Maktabah al-Syamilah, Juz-2 h. 461 141 Hanif dkk….h.213
.jpg)
Posting Komentar untuk "BAB II MENJAWAB TUDUHAN HANIF DKK. TERHADAP TESIS PENULIS "
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...